
bersamapontianak.com, 6 Oktober 2025 — Kasus Riezky Kabah yang sempat mengguncang publik Kalimantan Barat kini memasuki babak baru. Setelah sebelumnya ditetapkan sebagai tersangka oleh Polda Kalbar atas dugaan ujaran kebencian terhadap suku Dayak, kini masyarakat adat Kalimantan Barat turut mengambil langkah tegas dengan menjatuhkan sanksi hukum adat terhadap sang konten kreator TikTok tersebut.
Langkah ini diputuskan melalui rapat besar organisasi masyarakat (ormas) dan kepemudaan Dayak yang digelar di Rumah Betang Pontianak pada Minggu malam. Pertemuan tersebut dihadiri oleh tokoh adat, pemuda, dan perwakilan berbagai sub-suku Dayak dari seluruh kabupaten/kota di Kalimantan Barat. Tujuannya adalah satu: menegakkan martabat adat dan budaya Dayak yang dinilai telah dilecehkan dalam konten viral Riezky Kabah.
Unsur Martabat, Bukan Balas Dendam
Ketua Dewan Adat Dayak (DAD) Kalbar menegaskan bahwa keputusan menjatuhkan sanksi adat bukanlah bentuk balas dendam, melainkan tindakan untuk memulihkan kehormatan dan martabat masyarakat Dayak. “Ini bukan tentang amarah, tetapi tentang penghormatan terhadap nilai-nilai leluhur. Kami ingin mengajarkan bahwa adat tidak boleh dipandang remeh,” ujarnya tegas dalam pernyataan resmi.
Selain itu, rapat juga menyepakati bahwa proses hukum positif yang sedang berjalan di kepolisian tetap akan dihormati. Namun, mekanisme hukum adat tetap dijalankan sebagai bentuk penyelesaian moral dan sosial di tengah masyarakat Dayak. Keputusan final mengenai bentuk sanksi adat akan diumumkan pada 7 Oktober 2025, setelah mendapat restu dari para tetua adat.
Proses Hukum dan Respons Publik
Sebelumnya, Riezky Kabah telah diamankan oleh Polda Kalimantan Barat pada akhir September 2025 setelah video berisi ujaran yang dinilai menghina masyarakat Dayak viral di media sosial. Dalam video tersebut, Riezky dianggap menyampaikan kata-kata yang menyinggung kehormatan suku Dayak, sehingga memicu gelombang kecaman luas.
Polda Kalbar menjeratnya dengan pasal terkait ujaran kebencian berdasarkan SARA, sesuai dengan Undang-Undang ITE. Meski telah meminta maaf secara terbuka melalui media sosial, permintaan maaf tersebut dinilai belum cukup untuk menghapus luka sosial yang muncul di masyarakat adat.
Berbagai elemen masyarakat, termasuk tokoh agama dan pemuda, turut memberikan komentar atas peristiwa ini. Mereka menilai bahwa kasus Riezky Kabah menjadi pelajaran penting tentang batas etika dalam bermedia sosial, terutama di tengah masyarakat majemuk seperti Kalimantan Barat.
Adat Sebagai Pilar Sosial dan Moral
Pakar antropologi Universitas Tanjungpura, Dr. I Ketut Rahman, menilai bahwa langkah masyarakat Dayak menjalankan hukum adat dalam kasus ini merupakan bentuk kearifan lokal yang hidup dan relevan di era modern. “Hukum adat memiliki nilai korektif terhadap perilaku sosial. Ia bukan sekadar hukuman, tetapi sarana edukasi moral bagi pelaku maupun masyarakat luas,” jelasnya.
Dalam tradisi Dayak, pelanggaran terhadap kehormatan adat biasanya diselesaikan melalui ritual permohonan maaf dan pembayaran denda adat, yang tujuannya bukan menghukum secara fisik, melainkan mengembalikan keseimbangan sosial. Dengan demikian, hukum adat menjadi sarana pemulihan nilai-nilai harmoni, bukan sekadar penegakan sanksi.
Refleksi dan Implikasi Sosial
Kasus Riezky Kabah menjadi peringatan keras bagi para pengguna media sosial untuk lebih berhati-hati dalam berucap. Di era digital, satu konten dapat berdampak luas hingga menyinggung kehormatan suatu kelompok etnis. Oleh karena itu, literasi digital dan pemahaman terhadap kearifan lokal harus diperkuat, terutama di wilayah dengan keragaman budaya yang tinggi seperti Kalimantan Barat.
Selain itu, langkah masyarakat Dayak yang tetap menempuh jalur hukum adat menunjukkan sinergi antara kearifan tradisional dan sistem hukum nasional. Hal ini menegaskan bahwa nilai-nilai adat masih memiliki peran penting dalam menjaga moral, martabat, dan persatuan di tengah modernisasi hukum Indonesia.
Kesimpulan
Dengan meningkatnya perhatian terhadap kasus Riezky Kabah, masyarakat Indonesia kembali diingatkan bahwa kebebasan berekspresi memiliki batas yang harus dijaga dengan rasa hormat terhadap sesama. Langkah tegas masyarakat Dayak bukan hanya simbol kemarahan, tetapi juga pesan moral bahwa adat dan budaya tetap hidup, berdaulat, dan layak dihormati di era digital ini.
Baca juga: Warga Moro Behe Menuntut Hak Atas Listrik: 79 Tahun dalam Gelap
Untuk berita terbaru seputar pontianak dan informasi penting lainnya kunjungi berita pontianak